Semoga penjelasan kali ini dapat memberikan sedikit titik terang dari polemik yang ada. Semoga bermanfaat.
Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat
Syarat sah shalat yang harus dilakukan sebelum melaksanakannya di antaranya adalah menghadap kiblat. (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 52, Darul Fikri dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82, Dar Ibnu Rojab)
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ salatahu),
An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 2/132)
Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat
Dalam Matan Al Ghoyat wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan, “Ada dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat : [1] Ketika keadaan sangat takut dan [2] Ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar.”
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
Ibnu Umar mengatakan,
Malik berkata (bahwa) Nafi’ berkata,
Ibnu Umar berkata,
Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap kea rah lain.
Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan, ‘Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah’.” (Lihat Al Mughni, 2/272)
Lalu Bagaimanakah Jika Kita Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung?
Jika melihat ka’bah secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)?
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah menghadap ke arahnya saja. (Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816)
Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis).
Dalil dari pendapat pertama ini adalah
Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,
Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya adalah di arah barat dan bergeser 10 derajat ke utara, maka kita harus menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah.
Menurut pendapat kedua ini, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud ayat:
Jadi, intinya jika seseorang tidak melihat ka’bah secara langsung, di sini ada perselisihan pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat dalil masing-masing kubu adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang berbeda karena berargumen dengan hadits yang mereka pegang.
Pendapat yang Lebih Kuat
Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat pertama yaitu pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa bagi yang tidak melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja. Jadi kalau di negeri kita, cukup menghadap arah di antara utara dan selatan. Jadi . Sedangkan pendapat kedua yang dipilih oleh Syafi’iyah, sebenarnya hadits yang mereka gunakan adalah hadits yang bisa dikompromikan dengan hadits yang digunakan oleh kelompok pertama. Yaitu maksudnya, hadits yang digunakan pendapat kedua adalah untuk orang yang melihat ka’bah secara langsung sehingga dia harus menghadap persis ke ka’bah.
Sehingga dapat kita katakan:
- Jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
- Namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di negeri kita adalah arah antara utara dan selatan.
Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, maka selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.” Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’aniy,
“Ada yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).” (Subulus Salam, 1/463)
Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya monggo silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.
Demikian penjelasan singkat mengenai arah kiblat. Semoga kajian yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian dan semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat agar dapat menerangi jalan hidup kita. Wallahu a’lam bish showab.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar